Penulis : Arwen Ramadhani | Editor : Eka Sumartini
Aku sudah membunuh orang berkali-kali. Mungkin kau akan mengira bahwa ini adalah ungkapan kelam yang penuh dengan penyesalan, mungkin juga kau menanti cerita seorang pembunuh berdarah dingin seperti film dokumenter. Kenyataannya, aku tidak sekejam itu.
Lantas, siapa yang aku bunuh?
Aku membunuh mereka yang singgah di kepalaku. Mereka yang membuat dunia baru di ruang angan-anganku. Mereka yang hadir dengan dongeng indah, hanya untuk akhir yang sama sekali tidak aku sukai. Di sisi lain, aku tahu mereka tidak bersalah. Bukan mereka yang mengetuk pintu dan mengemis untuk menetap. Akulah yang menarik mereka. Aku yang memberikan tempat untuk mereka. Aku yang mengizinkan mereka untuk ikut ambil peran dalam skenario yang aku ciptakan seindah mungkin.
Ketika mereka berbuat salah, awalnya aku masih bisa memaafkan. Bisa jadi mereka belum menguasai naskahku. Kedua kalinya mereka salah, aku memaklumi. Mungkin mereka masih butuh adaptasi. Semakin sering mereka melenceng dari arahanku, semakin sering pula aku harus mengalah. Pada akhirnya, aku menyimpulkan bahwa skenario buatanku sepertinya tidak cocok untuk mereka.
Namun, apakah kau tahu seberapa sakitnya mengalah?
Konon katanya, seseorang yang mengalah tandanya berhati besar. Bagaimana jika hatiku tidak sebesar itu? Bagaimana jika aku hanya perempuan berhati kecil yang menginginkan cinta seluas samudera?
Aku hanya punya ruang untuk satu orang. Hanya saja, hati tidak semudah itu melupakan mereka yang pernah singgah. Mereka datang dan memenuhi duniaku, menjadi aktor dalam panggung yang penontonnya adalah diriku sendiri. Jika akhirnya tidak sesuai keinginanku, opsi apa lagi yang aku miliki selain mencari penggantinya?
Kadang kala, beberapa dari mereka tidak ingin diganti—seburuk apapun penampilan yang sudah mereka berikan. Sekalipun aku sudah berusaha untuk mengusir, mereka punya cara untuk datang kembali. Bagai ketukan pintu yang halus, sekadar senyum saja cukup bagiku untuk memberikan kesempatan baru. Hal ini terus terjadi hingga menjadi siklus, sebuah lingkaran setan yang harus aku putus rantainya jika aku menginginkan akhir bahagia sebenarnya yang aku inginkan.
Maka dari itu, aku harus membunuh mereka.
Membunuh terdengar kejam, tapi kata apa lagi yang bisa aku gunakan? Aku tidak bisa menghapus mereka dari ingatanku. Aku juga tidak bisa membuang mereka dari hidupku.
Yang bisa aku lakukan hanyalah membunuh mereka yang ada di kepalaku. Aku mengakhiri masa hidup mereka di skenario ciptaanku. Asal kau tahu, ini bukan hal yang mudah. Butuh waktu lama untuk yakin bahwa aku bisa mencari pemeran baru yang bisa memberikan apa yang aku inginkan. Ketika ada tokoh baru, saat itulah aku bisa ‘membunuh’ mereka dengan mudah.
Mereka bukan lagi pangeran berkuda putih yang aku tulis di naskah. Mereka hanya pemeran pengganti, dan terus menjadi pengganti hingga aku menemukan seseorang yang tepat.
Namun, aku tidak ingin berpikir seperti itu tentangmu.
Kau datang tanpa diminta. Aku membukakan pintu, dan kau masuk dengan langkah ringan seakan kau memang ingin menetap. Tapi kau juga seperti yang lain, sulit mengikuti naskah yang sudah aku berikan. Namun, aku sadar bahwa kau memiliki peran berbeda dari yang lain.
Peran itu adalah … dirimu sendiri.
Aku tidak bisa menciptakan peran untukmu. Aku tidak bisa membayangkanmu sebagai pangeran berkuda putih. Aku juga tidak bisa membayangkanmu menjadi laki-laki yang selama ini aku inginkan dalam skenarioku. Setiap aku mencoba, hatiku menolak keras. Mungkin itu karena kali ini, aku mengenalmu sebelum aku mengizinkan bagian darimu untuk singgah di bayanganku.
Kau bukan pangeran yang baik hanya demi menyelamatkan sang putri, tetapi aku tahu bahwa kau akan selalu membantu siapapun tanpa ragu. Kau tidak pandai memikat seseorang dengan kata-kata, tetapi kau selalu tahu apa yang bisa diucapkan untuk membuatku tertawa lebar. Kau adalah pengejar mimpi, menghabiskan waktu dan tenagamu demi meraih kesuksesan yang kau dambakan—walau itu artinya kau tidak punya waktu untuk cinta.
Pandanganku tentangmu tidak sepenuhnya akurat. Aku hanya berasumsi berdasarkan seberapa lama kita mengenal satu sama lain. Yang pasti, kau adalah seseorang yang layak untuk dicintai seutuhnya. Kau tidak butuh cinta dari khayalan atau skenario buatan yang sama sekali tidak mencerminkan dirimu yang sebenarnya.
Aku tidak tahu apakah akulah yang kau butuhkan, tetapi aku akan selalu membuka pintu untukmu. Kau boleh datang, kau juga boleh pergi. Aku akan tetap di sini sampai kau menemukan tempat singgah selamanya, dan tidak masalah jika aku bukan orangnya.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak ingin membunuh seseorang.
Comments