Penulis : Nabela Sinta Maharani, Gisellyn Vanessa Susanto
Editor : Naara Nava Athalia Lande
Foto : Dokumentasi pribadi Andreanus Gunawan
Pemutaran dan diskusi film “Indonesian Cinema” (2006). Film dokumenter oleh Maurizio Borriello yang berisi mengenai film Indonesia sebelum 2000-an menunjukkan bagaimana poster film dibuat serta diskusi menarik dari seniman poster asal surabaya Andreanus Gunawan dan seorang penulis Yogi Ishabib.
KOMA - Klub Peeping menyelenggarakan program pemutaran dan diskusi film “Indonesian Cinema” (2006) pada Kamis (02/04/2024) pukul 14.00 di ruang Alexa, Gedung C FISIP Universitas Airlangga. Film yang berdurasi 55 menit ini disutradarai oleh Maurizio Borriello, seorang sutradara asal Italia yang berhasil membuka mata penonton terhadap perkembangan film di Indonesia—mulai dari masa penjajahan hingga awal tahun 2000-an. Film dokumenter yang dibuatnya ini berisi pengalaman dan argumen dari orang-orang yang dekat dengan sinematografi, yaitu seorang produser dan seorang pelukis poster. Kegiatan yang diselenggarakan ini juga mengundang dua orang hebat, yaitu pelukis poster film Surabaya, Andreanus Gunawan, dan seorang penulis dan kurator film, Yogi Ishabib.
Pak Andre bertutur bahwa beberapa tahun lalu, poster film masih harus dilukis secara manual menggunakan tinta hitam oleh seniman profesional. Ia juga bercerita tentang keseruannya melukis poster film.
“Keseruannya ya, ketika kita harus bisa mengatur komposisi dari contoh yang diberikan supaya poster yang dibuat menarik; setidaknya orang dapat menonton film dari hasil poster yang dilukis.” Namun, melukis poster film juga memiliki tantangan tersendiri. “Jika contohnya jelek, atau pose dari sang bintang terkenal tidak terlihat bagus dan wajahnya tidak terlihat jelas, saya akan mencari foto sang bintang di gambar film lain yang wajahnya terlihat jelas, supaya mudah dilukis,” ungkap beliau.
Foto: Ilustrasi Andreanus Gunawan di masa kecil
Sebagai seorang pelukis poster, Pak Andre juga menceritakan perjalanannya yang mulai dari menggambar postcard yang hanya sekedar hobi. Beliau baru melukis poster ketika duduk di bangku SMA, dan kala itu, hanya Pak Andre satu-satunya pelukis poster film di Surabaya—yang normalnya berukuran 5 meter—dan tidak dijual mahal pada zaman itu.
Yogi Ishabib, seorang penulis dan kurator film, juga ikut menceritakan memori uniknya yang juga seputar poster film. “Poster film dulu sering menipu, dahulu terdapat poster film ‘The Sword and The Lute’ yang tertulis bahwa itu adalah film terakhir dari Jimmy Wang Yu. Padahal, nyatanya sang aktor Wang Yu baru meninggal pada bulan 5 April 2022 silam. Hal itu ditujukan untuk menarik perhatian penonton,” ungkapnya. “Bioskop dahulu ada berbagai tipe kelas, kelas A terdapat film Hollywood atau film barat, sedangkan kelas B film India dan Mandarin”, ujar Yogi lagi.
Tidak berhenti sampai di situ, beliau juga menceritakan bahwa dahulu, kursi di bioskop kelas B dan C sering rusak karena sering dilemparkan oleh penonton ke layar lebar. Hal ini biasanya terjadi karena roll film yang telat berputar, bioskop yang mati lampu, atau film yang buram.
Foto : Poster Iron Man Karya Andreanus Gunawan
Bioskop dan poster yang bisa kita temui di zaman sekarang sangat berbeda dengan dahulu. Sekarang, tidak ada lagi poster film yang dilukis menggunakan tinta hitam dan ditempel di depan bioskop. Bioskop saat ini dapat menampilkan banyak film yang dijadwalkan dalam 1 hari dengan kualitas yang terbaik, plus model sinepleks sehingga penonton merasa nyaman ketika menonton film.
Comentarios